“...Jadi intinya sekarang, lo mau ngapain?”
Suara itu terdengar lembut dibalik riuhnya lagu Like We Used To dari Rocket To The Moon yang kuputar keras di
kamarku, dimana seisi rumah sudah penuh dengan emosi yang diantarkan oleh senandung
lagu itu.
Mendengar pertanyaan itu, aku terdiam. Tak tahu harus menjawab
apa. Yang kulakukan hanya memandang senyum lirih perempuan di hadapanku, dimana
ia terus menggenggam erat tangan ini. Menghentikanku agar tak lagi memberikan
pukulan pada tembok dengan penuh emosi.
Malam itu, lagi lagi aku hancur.
Lalu seperti biasa, perempuan di hadapanku ini datang ‘tuk menenangkan.
Entah sudah berapa puluh kali aku seperti ini. Rasa sakit yang
sama, penyesalan yang sama, kemudian diakhiri dengan penyelesaian yang selalu
saja sama. Semua itu sudah terjadi berkali kali, seperti siklus wajib, dengan
urutan yang selalu saja terulang. Disakiti, mencoba pergi, kembali, jalani lagi
seperti tak ada yang terjadi, disakiti lagi, dan terus seperti itu.
Namun... kali ini berbeda. Kali ini aku tak ‘kan mungkin bisa
kembali.
Mungkin terdengar aneh saat dua orang yang tak punya komitmen
akan sebuah hubungan, menyakiti dan tersakiti. Mungkin terdengar aneh saat dua
orang yang sama-sama masih suka “bermain” dibelakang kebahagiaan masing-masing
bisa kesakitan dan merasa puas saat memberikan kesakitan. Mungkin terdengar aneh
saat satu dari dua orang yang tak punya komitmen merasa tak rela dan tak bisa
ditinggalkan “pasangan tak berkomitmennya” untuk berkomitmen kepada orang lain.
Tapi inilah yang terjadi, inilah yang aku alami. Dengan seorang
perempuan yang sudah hampir tiga tahun lamanya datang dan menemani.
Mungkin untuk orang lain, hubungan yang tak punya komitmen seperti
yang sedang kujalani ini bisa berarti sampah dan tak ada artinya, tapi itu
semua berbeda di hadapanku. Hubungan tanpa komitmen ini jelas membuatku menjadi
lebih bahagia dari sebelumnya.
Dia yang menemaniku saat aku mentertawai masa-masa sekolahku
yang benar-benar suram. Dia yang menemaniku saat aku terpuruk karena keadaan. Dia
yang menemaniku, semenjak saat keluargaku mulai pecah hingga membaik seperti
sekarang.
Tapi di sisi lain, hubungan ini juga jelas memberikan rasa
sakit yang lebih dalam dari hubungan biasanya.
Tak ada kewajiban satu sama lain untuk menjaga perasaan
masing-masing. Tak ada hak untuk emosi saat ia kuketahui sedang bersama orang
lain. Tak boleh untukku marah saat ia benar-benar ingin serius dengan orang
lain.
Itulah yang terjadi. Sebuah hubungan tanpa komitmen yang
kujalani sudah sukses membuat hati ini tercecer selama beberapa tahun, dan
meledak hebat kemarin pagi.
Mungkin aku terlalu naif, karena berharap hubungan seperti itu
bisa bertahan selamanya.
Mungkin aku juga terlalu naif, saat berfikir aku tak mungkin
tersakiti.
Mungkin aku benar benar naif, saat berfikir semuanya akan baik
baik saja.
Beberapa bulan lalu aku yakin keputusanku untuk berusaha
percaya, berusaha sekali lagi untuk kembali, dan berusaha memberikan sepenuhnya
lagi pada sosok cantik itu adalah sebuah keputusan yang tak mungkin kusesali, tapi
beberapa hari lalu... aku sadar kalau itu adalah keputusan terbodoh yang pernah
kubuat selama hidupku.
Kalau saja aku tak membuat keputusan seperti itu, mungkin aku
tak akan jadi sehancur ini. Andaikan saja waktu itu aku benar-benar seutuhnya
pergi dan sama sekali tak memiliki niatan untuk kembali, aku tak akan merasa
sebodoh ini selama hidupku. Andaikan saj-
“Pergi yuk?”
Kalimat itu memecah semua kehebohan yang terlintas di kepalaku.
“Hah?”
“Iya pergi, yang jauh. Pernah denger nggak kata orang,
traveling itu bukan cuma sekedar jalan-jalan, tapi juga buat nyari jati diri.
Nyari tau siapa kita sebenernya, dan mau apa kita di hidup ini.”
“Yukki, omongan lu ketinggian.”
“Yang selama ini lo lakuin buat ngilangin rasa sakit cuma
bikin rasa sakit yang lebih dari itu kan? Nyakitin diri lo sendiri, mukulin
tembok, beli minuman-minuman aneh. Kenapa elo nggak nyoba buat bikin bahagia
yang lebih dari sebelumnya? Bikin bahagia yang bahkan lebih dari waktu sama
orang itu. Sekali kali ngebahagiain diri sendiri kan nggak ada salahnya. Siapa
tau elo bakal nemuin apa yang lo cari.”
“Apa emang yang gue cari?”
“Ya mana gue tau. Ntar aja elo cari tau sendiri.”
...
Dan... disinilah gue sekarang, berusaha buat nyari hal yang gue nggak tau
apa itu. Masih ditemenin sama lagu Like We Used
To, semoga ini bakal jadi perjalanan yang keren.
Antah
berantah.
Nyempetin foto
pake hape jadul di perjalanan supaya ada kenang-kenangan.
Keliatannya
kayak panas ya, padahal mah... rasanya udah kayak sifat pacar yang udah mulai
bosen.
Dingin banget.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar