Rabu, 27 Juli 2016

Appetizer


“...Jadi intinya sekarang, lo mau ngapain?”

Suara itu terdengar lembut dibalik riuhnya lagu Like We Used To dari Rocket To The Moon yang kuputar keras di kamarku, dimana seisi rumah sudah penuh dengan emosi yang diantarkan oleh senandung lagu itu.

Mendengar pertanyaan itu, aku terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. Yang kulakukan hanya memandang senyum lirih perempuan di hadapanku, dimana ia terus menggenggam erat tangan ini. Menghentikanku agar tak lagi memberikan pukulan pada tembok dengan penuh emosi.

Malam itu, lagi lagi aku hancur.

Lalu seperti biasa, perempuan di hadapanku ini datang ‘tuk menenangkan.

Entah sudah berapa puluh kali aku seperti ini. Rasa sakit yang sama, penyesalan yang sama, kemudian diakhiri dengan penyelesaian yang selalu saja sama. Semua itu sudah terjadi berkali kali, seperti siklus wajib, dengan urutan yang selalu saja terulang. Disakiti, mencoba pergi, kembali, jalani lagi seperti tak ada yang terjadi, disakiti lagi, dan terus seperti itu.

Namun... kali ini berbeda. Kali ini aku tak ‘kan mungkin bisa kembali.

Mungkin terdengar aneh saat dua orang yang tak punya komitmen akan sebuah hubungan, menyakiti dan tersakiti. Mungkin terdengar aneh saat dua orang yang sama-sama masih suka “bermain” dibelakang kebahagiaan masing-masing bisa kesakitan dan merasa puas saat memberikan kesakitan. Mungkin terdengar aneh saat satu dari dua orang yang tak punya komitmen merasa tak rela dan tak bisa ditinggalkan “pasangan tak berkomitmennya” untuk berkomitmen kepada orang lain.

Tapi inilah yang terjadi, inilah yang aku alami. Dengan seorang perempuan yang sudah hampir tiga tahun lamanya datang dan menemani.

Mungkin untuk orang lain, hubungan yang tak punya komitmen seperti yang sedang kujalani ini bisa berarti sampah dan tak ada artinya, tapi itu semua berbeda di hadapanku. Hubungan tanpa komitmen ini jelas membuatku menjadi lebih bahagia dari sebelumnya.

Dia yang menemaniku saat aku mentertawai masa-masa sekolahku yang benar-benar suram. Dia yang menemaniku saat aku terpuruk karena keadaan. Dia yang menemaniku, semenjak saat keluargaku mulai pecah hingga membaik seperti sekarang.

Tapi di sisi lain, hubungan ini juga jelas memberikan rasa sakit yang lebih dalam dari hubungan biasanya.

Tak ada kewajiban satu sama lain untuk menjaga perasaan masing-masing. Tak ada hak untuk emosi saat ia kuketahui sedang bersama orang lain. Tak boleh untukku marah saat ia benar-benar ingin serius dengan orang lain.

Itulah yang terjadi. Sebuah hubungan tanpa komitmen yang kujalani sudah sukses membuat hati ini tercecer selama beberapa tahun, dan meledak hebat kemarin pagi.

Mungkin aku terlalu naif, karena berharap hubungan seperti itu bisa bertahan selamanya.

Mungkin aku juga terlalu naif, saat berfikir aku tak mungkin tersakiti.

Mungkin aku benar benar naif, saat berfikir semuanya akan baik baik saja.

Beberapa bulan lalu aku yakin keputusanku untuk berusaha percaya, berusaha sekali lagi untuk kembali, dan berusaha memberikan sepenuhnya lagi pada sosok cantik itu adalah sebuah keputusan yang tak mungkin kusesali, tapi beberapa hari lalu... aku sadar kalau itu adalah keputusan terbodoh yang pernah kubuat selama hidupku.

Kalau saja aku tak membuat keputusan seperti itu, mungkin aku tak akan jadi sehancur ini. Andaikan saja waktu itu aku benar-benar seutuhnya pergi dan sama sekali tak memiliki niatan untuk kembali, aku tak akan merasa sebodoh ini selama hidupku. Andaikan saj-

“Pergi yuk?”

Kalimat itu memecah semua kehebohan yang terlintas di kepalaku.

“Hah?”

“Iya pergi, yang jauh. Pernah denger nggak kata orang, traveling itu bukan cuma sekedar jalan-jalan, tapi juga buat nyari jati diri. Nyari tau siapa kita sebenernya, dan mau apa kita di hidup ini.”

“Yukki, omongan lu ketinggian.”

“Yang selama ini lo lakuin buat ngilangin rasa sakit cuma bikin rasa sakit yang lebih dari itu kan? Nyakitin diri lo sendiri, mukulin tembok, beli minuman-minuman aneh. Kenapa elo nggak nyoba buat bikin bahagia yang lebih dari sebelumnya? Bikin bahagia yang bahkan lebih dari waktu sama orang itu. Sekali kali ngebahagiain diri sendiri kan nggak ada salahnya. Siapa tau elo bakal nemuin apa yang lo cari.”

“Apa emang yang gue cari?”

“Ya mana gue tau. Ntar aja elo cari tau sendiri.”
...


Dan... disinilah gue sekarang, berusaha buat nyari hal yang gue nggak tau apa itu. Masih ditemenin sama lagu Like We Used To, semoga ini bakal jadi perjalanan yang keren.


Antah berantah.
Nyempetin foto pake hape jadul di perjalanan supaya ada kenang-kenangan.
Keliatannya kayak panas ya, padahal mah... rasanya udah kayak sifat pacar yang udah mulai bosen.

Dingin banget.
andrii Pujangga Gagal

Gue cuma remaja biasa yang suka nulis keresahan lewat kata dan ngukir indahnya dia dengan cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar